RSS

Kita yang Bermetamorfosa

I’m writing in disorder condition. I’m broke. I’m (not) fine. I’m (not) okay. I feel… everything is bullshit!

Terkadang, manusia memang ditakdirkan untuk merasakan dua hal yang berbeda dalam satu keadaan. Senang sedih. Tertawa menangis. Nggak ada yang bisa nebak skenario buatan Tuhan. Sedetik lalu, gue tertawa. Entah untuk sedetik berikutnya, mungkin gue sedih, bahkan menangis. Dan, disitulah Tuhan punya kuasa. Tuhan bisa merubah apa saja dalam sepersekian detik. Disitulah, manusia diciptakan agar dapat menghargai sekecil apapun kebahagiaan itu.

Malem itu, gue lebih memilih matiin handphone dan mencoba nggak memeperdulikan kejadian beberapa menit sebelumnya. Gue nggak pengen ribut. Dan gue pengen sendiri. Sebenernya gue lagi pengen seneng, tapi keadaan yang bikin gue kacau saat itu. Satu jam sebelumnya, gue ngerasa lagi berada di kutub utara. Dingin, hati gue adem layaknya dihujani kristal-kristal salju difilm frozen. Tapi semua seakan rapuh. Semua Kristal salju yang gue rasain tadi berubah menjadi butiran abu yang bikin hati gue berdebu. Gue mencoba buat nahan semua amarah dan kegundahan yang gue rasain. Gue diem. Dan pasang mimik wajah, “Iya. Ini loh aku nggak papa”

Gue tipe orang yang lebih memilih “diem” dalam menghadapi suatu masalah. Bukan bermaksud lari dari keadaan, tapi gue punya makna lain dari diem-nya gue. Gue memilih diem tujuannya biar seseorang itu sadar akan apa yang dia perbuat. Ya memang, diem nggak bakalan nyelesaiin suatu masalah. Bahkan gue ngerasa kalau gue “cemen” dan juga ngerasa bersalah saat gue ngelakuin hal bodoh macam itu. Diem juga bakalan kalah sama yang ngobrol dan nyeleseiin masalahnya sama-sama. Tapi diem mengajarkan ke-pekaan yang luar biasa hebatnya. Jadi, kalau pasangan lo nggak pernah peka ya diemin aja. But That’s not a good idea haha.

Tapi disisi lain malem itu gue ngerasa lega. Bisa ngungkapin sedikit dari banyaknya kegundahan hati gue sama dia. Aku ngerasa, kita berubah. Kita bukan kita yang dulu. Entah. Aku belum sebegitu mengerti mengapa bisa bilang seperti itu. Yang jelas aku selalu mencoba mencari jawaban atas pertanyanku. Berubah, dan keluar dari zona nyaman kita dulu. Aku ngerasa nyamannya aku mulai berkurang. Daaaan, aku nggak pernah berani buat ngungkapin satu kalimat barusan. Untuk itu, aku mencoba mengutarakannya lewat tulisan. Mungkin, kamu mengira aku terlalu acuh buat perhatian ke kamu. Tapi, dibalik semua itu perhatian aku ke kamu jauh lebih besar dari apa yang kamu bayangin. Kembali lagi, aku masih belum berani buat ngutarain semua. Banyak hal yang ingin aku ungkapin tapi nggak sejalan sama kenyataan. Mulut aku seakan enggan terbuka dan menceritakan semuanya. Aku nggak bermaksud bikin kamu sedih, Aku… cuma pengen kamu sama-sama tau apa yang lagi aku rasain. Aku pengen terbuka, tapi aku masih nggak bisa. Dan aku tau ini salah. Ini semua tentang kita. Bukan hanya sekedar aku dan kamu.

Aku sadar. Egoisnya aku, cemburunya aku emang lagi besar-besarnya. Sifat aku juga masih kekanak-kanakan. Kamu bilang salah, kamu nggak bilang juga lebih salah lagi. Aku pengennya kita tuh kaya dulu, bukan yang sekarang ini. Berubaaaaaaah banget. Aku nggak tau ya, sampai kapan kamu bertahan saat aku terus menerus diemin kamu. Aku lebih nyaman sama kita yang dulu, bukan nyaman dalam artian kamu peluk, kamu cium, kamu sayang-sayang macam itu. Aku kangen perhatian kamu yang “lebih-lebih” bukan cuma sekedar ngingetin makan, sholat, tapi perhatian yang aku rasa udah mulai memudar dengan sendirinya. Aku yakin sayaaang, kamu pasti ngerasa aku berubah. Tapi kamu lihat apa yang bikin aku berubah seperti sekarang ini. Aku nggak pernah berani buat ngungkapin itu, cuma bisa nunjukin lewat sikap. Mungkin itu udah lebih dari cukup. Aku tuh benci kamu tinggal-tinggal terus. Aku benci kamu ngerasa sok sibuk. Tapi yaudah, emang nyatanya kaya gitu aku bisa apa? Everything it’s gonna be alright… aku nggak papa

Untuk kita yang memilih berubah dan bermetamorfosa…